Boyolali, (gitamedia.com) – 04/02/2023 – Identitas sosial merupakan bagian dari media pengingat sederhana antar individu, media sekecil apapun akan memberikan kesan yang mudah untuk diingat. Memori ingatan tersebut mempunyai landasan berpikir bahwa seorang manusia itu pasti hendak mengincar hasrat yang melekat dibalik sebuah benda materi yang ia genggam. Representasi benda materi ini selanjutnya akan menjadi bagian dari sejarah hidup serta menghubungkan jalan cerita dari awal hingga akhir. Dengan kata lain, effort dari sebuah benda dapat mengendalikan hasrat jiwa individu cepat atau lambat senantiasa memikirkan maupun mengikuti rentetan nilai materialis serta perilaku sesuai riwayat manfaatnya. Kemudian tercipta redistribusi yang mengikat kuat pada reputasi dan status sosial (prestise), hal ini merefleksikan ‘the gift’ sebagai tahap awal memasarkan sebuah produk.
Menurut Arjun Appadurai, nilai materi suatu barang itu memiliki daya juang (effort) dan hasrat memiliki (desire). Daya juang ialah bermakna bahwa dalam membuat produk tersebut membutuhkan rincian proses panjang guna mengalami sejarah lebih mendalam. Sedangkan, pengertian dari Hasrat memiliki disini ialah bagaimana target pelanggan itu akan berperilaku seperti apa saja bila menggenggam produk. Dimana ia pasti menilai produk itu layak untuk dirinya atau kelompoknya sendiri.
Indikator selanjutnya setelah dasar pemberian terjadi karena adanya pilihan rasional praktis di setiap perpindahan barang materi dari satu pihak ke pihak yang lain. Selanjutnya produk punya indikator social goals, dimana ada praktik mengimplementasi nilai-nilai sosial dari sebuah produk dalam menyatukan koneksi atau relasi sosial semakin mengelompok dengan makna. Hal tersebut bisa menjadi peluang mengelompokkan satu pihak dengan pihak lainnya ibarat seperti sebuah pasangan yang mengikat jalin hubungan mutual satu sama lain. Indikator selanjutnya adalah morality sebuah benda material, dimana naik turunnya tren atau viralitas dari sebuah produk itu selalu didemonstrasikan oleh sebuah pandangan moral individu saat menggenggam produk tersebut. Nilai material benda dapat menurun (downgrade) karena efek testimoni yang buruk pula, segala hal terkait penurunan nilai juga didasari karena barang tersebut tidak dibutuhkan lagi oleh suatu kelompok.
Mahasiswa memberi pelatihan pada warga pengrajin kayu yang bernama Bapak Kiren selama tiga jam, kemudian menyertakan sesi tanya jawab interaktif. Di tengah-tengah perbincangan, warga terlihat cukup antusias dengan konsep baru dalam memanfaatkan limbah kayu menjadi produk yang berguna.
“Wah lumayan, kalau begitu sisa kayu disini jadi tidak terbengkalai, atau terbakar sia-sia.” Jawab Pak Kiren.
The giver selalu mempunyai ciri khas memberi hadiah dengan berprinsip akan mendapatkan imbalan dari orang tersebut. Ia cenderung merasa punya ketertarikan terhadap satu sama lain untuk saling berbagi guna mempererat koneksi relasi antara kedua belah pihak. Hal ini disertai dengan berbagai aktivitas dialog interaktif sebagai wujud terhubungnya informasi mengenai ketersediaan produk yang hendak diproduksi kemudian dikonsumsi untuk hidup sehari-hari, lantaran terdapat kegembiraan dan kebutuhan pada sebuah produk yang turut memberikan makna mendalam betapa berharganya barang tersebut.
Bapak Kiren selaku pengrajin kayu setuju dengan ide pemanfaatan limbah kayu sebagai produk baru yang berguna, perlahan beliau juga menyadari hal kecil ini bisa menjadi peluang usaha baru yang bermanfaat atau dapat digunakan kembali. Beberapa analisis serta kondisi di lapangan turut mengulas salah satu rencana kerja baru yang dapat dijual dengan target pasar baru. Banyaknya ketersediaan kayu sisa untuk pembuatan suvenir ini merupakan peluang baru untuk membuka usaha sendiri dengan melibatkan rasa kesadaran individu atas pengelolaan barang tak berguna menjadi produk berguna.
Penulis :
Muhammad Muhajir Islami – Antropologi Sosial
Dosen Pembimbing Lapangan:
● Reny Wiyatasari, S.S., M.Hum
● Dr.Ir. Baginda Iskandar Moeda Tampobolon, M.Si., IPM
● Irfan Murtadho Yusuf, S.A.P., MPM
(bin)











