Jakarta, (gitamedia.com) – Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat sub kelompok obat-obatan dan produk kesehatan mengalami inflasi atau kenaikan harga 1,34 persen sejak Januari-Juli 2021. Hal ini terjadi di tengah lonjakan kasus covid-19.
Kepala BPS Margo Yuwono mengungkapkan sub kelompok obat-obatan dan produk kesehatan juga mengalami inflasi sebesar 3,14 persen per Juli 2021 jika dilihat secara tahunan (year on year/yoy).
Ia menjelaskan kenaikan harga obat dan vitamin terjadi di beberapa kota. Namun, Margo tak merinci kota mana saja yang dimaksud.
Tapi ini tidak merata, hanya di beberapa kota,” ungkap Margo dalam konferensi pers, Senin (2/8).
Berdasarkan catatannya, kenaikan harga terjadi pada obat batuk, obat gosok, obat flu, obat penurun panas, dan vitamin. Hanya saja, ia tak menjelaskan lebih lanjut apakah obat-obatan itu yang dipakai untuk pasien covid-19.
Sebelumnya, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menemukan harga obat untuk menangani pasien covid-19 yang dijual di DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, hingga Sumatra Utara berada di atas harga eceran tertinggi (HET).
Ketua KPPU Kanwil III Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten Aru Armando menjelaskan terdapat satu apotek di Jawa Barat yang menjual harga obat covid-19 di atas HET yang telah ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan.
Ia menemukan harga obat azithromycin generik di apotek tersebut lebih tinggi 29,4 persen dari HET. Aru menduga perbedaan harga ini karena apotek menawarkan obat jenis paten.
Selain itu, terdapat beberapa marketplace yang menjual obat di atas HET. Ivermectin misalnya, salah satu apotek di Jawa Barat menjual dengan harga Rp505.500 per 10 butir.
Artinya, satu butir ivermectin dijual sekitar Rp50.550 per butir. Sementara, HET ivermectin ditetapkan sebesar Rp7.500 per butir.
Lonjakan harga di marketplace juga terjadi untuk pasokan obat covid-19 di Sumatra Utara. Berdasarkan temuan KPPU Wilayah 1 Medan, obat azithromycin dijual Rp26 ribu per tablet dan Rp79 ribu per strip.