Jakarta (gitamedia.com) – Tim Advokasi Peduli Hukum Indonesia (TAPHI) melaksanakan audiensi dengan Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan (Dirjen PP) Kementerian Hukum dan HAM pada Hari Rabu,08/10/2025 bertempat di Kantor Dirjen PP.
- Audiensi ini merupakan tindak lanjut atas Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 96/PUU-XXII/2024, yang mengabulkan uji materi terhadap Pasal 7 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera), yakni ketentuan yang mewajibkan
seluruh pekerja menjadi peserta Tapera.
Mengingat Pasal 7 merupakan pasal pokok (jantung) dari UU Tapera, maka UU tersebut dinyatakan MK menjadi tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat apabila tidak dilakukan penataan ulang dalam jangka waktu paling lama dua tahun sejak putusan diucapkan.
Audiensi TAPHI diterima oleh jajaran pejabat Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan, antara lain:
1. Aisyah Lailiyah, S.H., M.H. – Direktur Perencanaan Peraturan Perundang-undangan
2. Kanti Mulyani, S.H., M.H. – Plt. Direktur Litigasi dan Non-Litigasi
3. M. Waliyadin – Direktur Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan II
Sementara itu, TAPHI diwakili oleh Johan Imanuel, S.H., Niken Soesanti, S.H., M.H., Hamalatul Qurani, S.H., Hema Anggiat M. Simanjuntak, S.H., dan Destya Nursahar, S.H., M.H.

Dalam pertemuan tersebut, TAPHI menyampaikan tiga opsi rekomendasi perubahan UU Tapera, yakni:
1. Perubahan secara menyeluruh, untuk menata kembali seluruh konsep Tapera agar sejalan dengan prinsip keadilan sosial dan hak konstitusional warga negara.
2. Perubahan terbatas hanya pada pasal-pasal yang dibatalkan MK, yaitu dengan mengubah ketentuan “wajib menjadi peserta” menjadi “dapat menjadi peserta”, serta menghapus ketentuan sanksi atau denda bagi peserta Tapera.
3. Penghapusan seluruh substansi yang mengaitkan pekerja dengan Tapera, sehingga skema Tapera hanya berlaku bagi peserta sukarela tanpa keterpaksaan hukum.
Menanggapi hal tersebut, Direktur Perencanaan Peraturan Perundang-undangan, Aisyah Lailiyah, menekankan pentingnya agar perubahan UU Tapera tidak dilakukan secara parsial, melainkan diintegrasikan dengan regulasi lain seperti Undang-Undang Rumah Susun dan kebijakan perumahan nasional.
“Kita perlu melihat keterkaitannya di semua lini , dari aspek perumahan, jaminan hari tua, hingga perlindungan masyarakat sipil. Proses ini harus melibatkan seluruh pemangku kepentingan melalui kajian Regulatory Impact Assessment (RIA) untuk menilai biaya dan manfaat setiap opsi,” ujar Aisyah.
Sementara itu, Kanti Mulyani menyampaikan bahwa paling lambat 30 September 2027 pemerintah harus sudah memiliki UU Tapera yang baru, mengingat tenggat waktu dua tahun pasca putusan MK.
“UU ini masih berlaku sementara, tetapi BP Tapera harus berhati-hati dalam mengambil tindakan. Proses revisi ini menjadi momentum untuk menata ulang secara menyeluruh dengan melibatkan publik, terutama pihak-pihak yang terdampak langsung,” ujarnya
.
Melalui audiensi ini, TAPHI menegaskan komitmennya untuk mengawal proses legislasi perubahan UU Tapera secara transparan dan partisipatif, agar kebijakan perumahan dan tabungan masyarakat tidak melanggar prinsip keadilan maupun hak konstitusional pekerja.
“Kami berharap perubahan UU Tapera ke depan dapat mencerminkan semangat gotong royong yang konstitusional, bukan kewajiban yang menambah beban pekerja,” ujar Johan Imanuel mewakili TAPHI.
Tim Advokasi Peduli Hukum Indonesia (TAPHI) adalah komunitas advokat yang berfokus pada pengawasan dan advokasi terhadap kebijakan hukum serta putusan lembaga peradilan, dengan tujuan memperkuat supremasi hukum dan keadilan sosial di Indonesia.
(sg)