Dilema Marhaenis dalam dunia Pertanian
Ideologi Marhaenisme lahir dari kepedulian Soekarno terhadap pertanian. Di Indonesia Petani selalu menjadi kelompok yang terpinggirkan, sistem dan kebijakan penguasa sering merugikan petani.
GMNI sebagai organisasi yang berlandaskan pemikiran-pemikiran Bung Karno haruslah mengambil langkah-langkah strategis dalam membangun dunia pertanian tanpa penindasan dan penghisapan ekonomi. Pijakkan dasar ideologi itu adalah pertanian, jadi tuntutan peranan GMNI untuk ada di garda terdepan perjuangan Pertanian merupakan keharusan mutlak yang tidak dapat di tawar-tawar lagi.
Alumni GMNI adalah kader yang dihasilkan GMNI tetap merupakan sebuah kesinambungan dalam perjuangan rakyat semesta untuk mewujudkan rakyat adil dan makmur. Perjuangan yang selama ini di lakukan oleh kader-kader GMNI lebih banyak kepada advokasi-advokasi politik dan hukum belum menyentuh kepada advokasi-advokasi kebijakan dan ekonomi.
Selain mengambil jalan advokasi kebijakan dan ekonomi kader-kader GMNI haruslah melakukan upaya-upaya inovasi dan perbaikan sistem tata kelola petani dan pertanian di Indonesia. Abad 21 adalah abad penuh kecanggihan teknologi dan inovasi.
Advokasi Kebijakan dan Ekonomi
Tanah atau lahan merupakan hal yang penting dalam dunia pertanian. Tanpa lahan yang memadai dan cukup negara manapun akan mengalami kesulitan besar dalam membangun dunia pertanian.
Selama ini peran kader GMNI lebih tertuju kepada advokasi politik dan hukum dengan melakukan advokasi lahan untuk petani tapi belum menyentuh kepada advokasi kebijakan dan ekonomi petani itu sendiri.
Seringkali ketika petani mendapatkan lahan untuk bertani, petani kebingungan untuk berproduksi. Akhirnya lahan pertanian pun berpindah tangan dan berubah fungsi.
Berdasarkan data BPS dari tahun ke tahun menunjukkan bahwa lahan pertanian terus menurun. Contoh saja pada tahun 2017 lahan pertanian kita 7,71 juta ha dan pada tahun 2018 tinggal 7,10 juta ha. Dalam setahun saja berkurang kurang lebih setengah juta hektar. Sedangkan Menurut Menteri Pertanian Yasin Limpo lahan pertanian selalu berkurang sekitar 60.000 hektar setiap tahunnya.
Pertanyaannya kenapa lahan pertanian selalu berkurang setiap tahunnya sedangkan aktivis yang melakukan pembebasan lahan untuk petani juga banyak yang berhasil.
Titik persoalannya adalah kegiatan usaha pertanian tidak menguntungkan petani. HPP dan BEP dalam dunia pertanian tidak sebanding dengan hasil yang di lakukan. Harga bibit dan pupuk serta biaya pengelolaan pertanian tidak sebanding dengan hasil yang di hasilkan.
Efek dari persoalan hasil pasca panen yang tidak menguntungkan petani berimbas kepada semakin berkurangnya jumlah petani di Indonesia.
Menurut Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memprediksi, 42 tahun mendatang Indonesia tak lagi mempunyai petani bila tren tersebut terus berlanjut.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah petani per 2019 mencapai 33,4 juta orang. Adapun dari jumlah tersebut, petani muda di Indonesia yang berusia 20-39 tahun hanya 8 persen atau setara dengan 2,7 juta orang.
Orang-orang muda di Indonesia tidak lagi melihat bahwa dunia pertanian bukanlah sektor yang menarik dalam mencapai kesejahteraan. Apalagi jika dilihat menurut tingkat pendidikan, ternyata dari seluruh tenaga kerja di sektor pertanian tersebut sebanyak 81,32% nya berpendidikan setara SD ke bawah.
Rendahnya skill terdidik petani membuat petani lebih pragmatis dalam memandang dunia pertanian. Jika tidak menguntungkan maka di alihkan saja kebentuk yang lain.
Ironisnya, jumlah sarjana pertanian di Indonesia yang dicetak 34 ribu orang setiap tahunnya. Tapi Banyak Sarjana Pertanian tidak mau bertani akibat kebijakan Pemerintah tidak menguntungkan dunia pertanian itu sendiri.
Nah Kader GMNI yang sudah alumni kampus itu khususnya dari Sarjana Pertanian harus mampu menjawab persoalan dan dilema dunia pertanian Indonesia. Alumni GMNI harus mampu mengisi ruang-ruang kosong kebijakan pertanian yang tidak mendapatkan perhatian pemerintah atau menjadi tameng perjuangan untuk mewujudkan pertanian Indonesia yang berdaulat.
Advokasi Kebijakan dan Ekonomi dalam dunia pertanian sangat diperlukan sekali. Misalnya bagaimana petani dapat berdaulat terhadap bibit dan pasar sedangkan kebijakan secara politiknya sangat di perlukan dalam hal ekspor impor produk pertanian.
Inovasi dan Pembangunan Mental
Rendahnya skill terdidik dalam dunia pertanian Indonesia membuat pertanian Indonesia tidak menarik. Pengunaan teknologi dalam pertanian cenderung berbiaya mahal dan tidak efisien secara biaya.
Tidak menariknya dunia pertanian bagi sarjana pertanian mengakibatkan transfer pengetahuan dan teknologi dalam bidang pertanian itu sendiri bermasalah dan tak berkembang.
Upaya-upaya GMNI khususnya alumni GMNI harus mampu menghadirkan Sarjana atau kaum intelektual dalam bidang pertanian itu sendiri. Alumni GMNI kedepan nya harus mampu mendistribusikan kader-kadernya untuk hidup dan berusaha bersama petani.
Memajukan Pertanian dan Petani Indonesia berarti menjaga Indonesia itu sendiri tetap kokoh berdiri sepanjang masa.
Kiprah Alumni GMNI sangat di harapkan dan diperlukan dalam mensejahterakan petani itu sendiri.
Kita bisa melihat bagaimana aktivis pertanian India disana mendorong pemerintah India untuk menetapkan harga produk pertanian harus 150% dari HPP (Harga Pokok Produksi). Langkah-langkah seperti ini sangat dibutuhkan petani Indonesia. Tinggal pertanyaannya Bagaimana Peran Kader (Alumni) GMNI untuk mensejahterakan petani ???
Mensejahterakan Petani berarti Mensejahterakan Rakyat Indonesia berarti Menjaga Republik Indonesia itu sendiri. Seorang guru besar pernah mengungkapkan, dunia pendidikan pertanian terlalu akademis, kurang ke arah vokasi. Bertani itu pada akhirnya bagian dari ikhtiar, untuk menyempurnakan kehidupan manusia itu sendiri. Bukan hanya persoalan tanam-menanam, jadi jika kita sekarang tidak merindukan pertanian yang lebih maju maka kita tidak merindukan kehidupan yang lebih baik.